Sabtu, 19 November 2011

KECENDERUNGAN PROSES PEMBARUAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI INDONESIA

Pemikiran dasar di atas kiranya berlaku untuk setiap aspek kehidupan di dunia ini, termasuk -bahkan mungkin terutama- dalam kegiatan ekonomi. Bahwa memang terdapat kecenderungan pembaruan menuju kebenaran dan kebaikan ekonomi yang bergerak sepanjang sejarah manusia. Hal tersebut dapat dilihat dengan mencermati tonggak-tonggak sejarah perkembangan ekonomi dunia mulai dari perekonomian pada masa awal sejarah, perkembangan ekonomi di Yunani, di Cina, di Jazirah Arab, perdagangan Timur-Barat, hingga ke Depresi tahun 1930-an, kemerdekaan bangsa-bangsa setelah Perang Dunia, apa yang disebut sebagai "Asian Miracle" dan krisis ekonomi Asia, serta rangkaian teori yang dihasilkan oleh para peraih hadiah Nobel. Perkembangan tersebut sejalan dengan perkembangan peradaban manusia, dan tampaknya terdapat suatu kecenderungan pokok bahwa ekonomi -dan ilmu ekonomi- semakin realistis mencoba untuk selalu lebih dapat mencerminkan kehidupan manusia dan masyarakat yang kompleks.
Dalam tataran teori dan konsep, ilmu ekonomi semakin banyak membahas berbagai hal yang pada kondisi riilnya dalam masyarakat memang menentukan keputusan ekonomi yang sebelumnya hampir selalu menjadi objek asumsi "ceteris paribus". Aspek-aspek seperti informasi yang tidak sempurna, adanya harapan (ekspektasi) yang rasional dalam pengambilan keputusan, adanya pengaruh demokratisasi terhadap penanggulangan kemiskinan, atau kesatuan keputusan produksi dan konsumsi dalam rumah tangga semakin mendapat perhatian dalam pembahasan teori.
Kondisi tersebut kemudian juga beriringan dengan perkembangan yang terjadi pada ilmu ekonomi yang dipergunakan sebagai "panduan" dalam merancang proses pembangunan ekonomi, sehingga pada gilirannya proses pembangunan itu sendiri juga mengalami perkembangan. Lingkaran deduktif-induktif yang terdiri dari (1) teori dan konsepsi ekonomi; (2) strategi pembangunan ekonomi; dan (3) realitas ekonomi; menjadi "roda" yang memfasilitasi berjalannya pemahaman terhadap perkembangan arus besar pembaruan pembangunan ekonomi. Jika hal tersebut dicermati untuk konteks Indonesia -katakanlah dalam lima tahun terakhir- maka akan diperoleh gambaran mengenai arus besar kecenderungan pembaruan apa yang tengah bergerak membentuk ekonomi Indonesia yang lebih baik.
Pertama, kecenderungan perkembangan yang sangat kuat untuk menuju pada kegiatan ekonomi yang adil tanpa eksploitasi dan penindasan. Kita sama menyadari bahwa Indonesai telah (pernah) mengalami kondisi perekonomian di bawah rezim yang otoriter dalam berbagai bentuknya mulai sejak penjajahan hingga masa pergantian abad. Otoriterisme hampir selalu menghasilkan ekonomi yang eksploitatif dan penuh penindasan, tidak hanya kepada manusia tetapi juga kepada alam dan lingkungan. Otoriterisme juga cenderung melahirkan dominasi yang juga sering kali melahirkan eksploitasi. Sifat yang otoriter dan dominatif yang juga sering sekali melahirkan eksploitasi. Sifat yang otoriter dan dominatif tersebut umumnya lahir dari pandangan yang terlalu mengedepankan persaingan serba bebas (free fight liberalism) dengan dukungan paradigma kekuasaan yang kuat.
Arus proses menuju ekonomi yang adil itulah sebenarnya yang mendorong kita menjebol rezim otoriter yang telah berkuasa sekian lama di Indonesia. Pertumbuhan material yang dihasilkan rezim otoriter itu memang tinggi, tetapi ternyata dihasilkan dari proses yang sangat eksploitatif. Alam dieksploitasi tidak berkesudahan. Ribuan hektar hutan berikut isinya musnah, lautan dikuras tanpa henti, bumi pertambangan dikeruk hingga hanya menyisakan tanah yang membatu. Kondisi itu tentu memiliki korelasi yang jelas dengan pemberian hak-hak pengusahaan hingga jutaan hektar pada beberapa gelintir orang, dan pemberian konsesi pertambangan yang tidak terkontrol. Buruh juga dieksploitasi. Upah buruh yang murah justru dinyatakan sebagai faktor keunggulan. Posisi buruh selalu diusahakan untuk tetap berada pada sisi yang lemah dengan dalih karena besarnya supply tenaga pada pasar kerja. Sifat "ilegal" dari buruh yang sekarang menjadi masalah sebenarnya sudah mendapat "pembenaran" lama di dalam negeri sebelum mereka berangkat ke tanah seberang.
Petani merupakan korban eksploitasi berikutnya. Harga produk pertanian yang harus dijaga stabil pada tingkat yang rendah dipandang menjadi salah satu komponen strategi utama pembangunan secara keseluruhan karena hal itu akan berarti pula pada dapat dipertahankannya upah buruh yang murah. Kondisi eksploitatif tersebut juga menimbulkan "paradox": produksi pertanian harus ditingkatkan tetapi insentif natural untuk meningkatkan produksi tersebut (harga) tidak (boleh) diberikan. Dan kita akhirnya tidak lagi dapat menerima perlakuan yang tidak adil dan eksploitatif itu dan menggulirkan proses reformasi.
Kecenderungan kedua dalam perkembangan perekonomian Indonesia adalah apresiasi yang makin tinggi terhadap keberagaman. Indonesia merupakan negara dengan ciri keragaman yang sangat tinggi. Ribuan pulau, puluhan suku bangsa, puluhan dialek dan bahasa, ribuan spesies fauna dan varietas tanaman, dan puluhan jenis bentuk ekosistem merupakan beberapa bentuk keragaman Indonesia. Jika kita percaya bahwa apa yang diciptakan Tuhan selalu merupakan yang terbaik bagi manusia, maka proses perkembangan ekonomi akan selalu mengarah pada apresiasi yang semakin tinggi terhadap keberagaman tersebut. Dilihat dari dimensi dunia maka akan sangat sulit bagi Indonesia untuk unggul bersaing jika basis keunggulannya adalah efisiensi. Efisiensi ekonomi yang hampir selalu berarti proses produksi yang seragam dan kontinyu mensyaratkan adanya skala usaha yang cukup besar untuk itu. Ini merupakan ciri keunggulan negara "benua" seperti Amerika Serikat, Australia, atau Cina. Itulah sebabnya -misalnya- petani kita sangat sulit bersaing dengan petani dari negara-negara tersebut jika basis keunggulan persaingannya adalah efisiensi. Tetapi petani kita akan unggul justru jika mengusahakan kegiatan-kegiatan pertanian yang khas dan unik. Salak pondoh, beras Cianjur atau beras Rojolele, kayumanis Kerinci, talas Bogor, duku Palembang, rambutan Binjai, pisang Barangan, dan lain-lain unggul terutama bukan karena tingkat efisiensi produksi yang dicapainya tetapi lebih karena aspek diferensiasinya yang menonjol. Demikian juga kegiatan ekonomi di Bali, Jogja, Jepara, atau karya batik Iwan Tirta, yang relatif tidak terpengaruh oleh krisis finansial (penurunan kegiatan ekonominya lebih karena faktor keamanan) memiliki basis keunggulan diferensiasi.
Keberagaman juga sebenarnya merupakan hal yang paling mendasar yang membuat ekonomi berjalan. Bayangkan, jika di pasar semua pedagang menjual produk yang seragam maka tentu tidak akan terjadi transaksi. Dalam keseharian kita berekonomi maka kita cenderung untuk lebih senang dan nyaman pada suasana dimana terdapat banyak pilihan. Itulah yang menjadi faktor pendorong berkembangnya supermarket, misalnya. Oleh sebab itu keberagaman dalam kegiatan ekonomi semakin menjadi keharusan yang tidak terbendung. Hal ini juga didukung oleh kenyataan bahwa selain berlainan dengan kodrat manusia yang memang berbeda satu sama lain, keseragaman yang berlebihan ternyata juga telah menimbulkan berbagai kerusakan. Contoh-contoh bisa dikemukakan dalam berbagai kegiatan ekonomi, seperti terlihat pada penyeragaman koperasi, monokulturisme usahatani tanaman pangan, dan sebagainya.
Kecenderungan yang ketiga merupakan konskuensi logis dari arus yang pertama dan kedua, yaitu semakin jelas dan tegasnya kebutuhan desentralisasi dan otonomi ekonomi. Sentralisasi adalah "adik kandung" otoriterisme dan praktek eksploitatif, karena hanya dengan sentralisasi yang hampir mutlak maka pendekatan otoriter dapat efektif. Sentralisasi tersebut kemudian akan cenderung mengabaikan keberagaman, karena yang beragam itu lebih sulit dikontrol dan dikelola. Padahal setiap daerah memiliki ciri dan kondisinya masing-masing yang hanya dapat dikembangkan secara optimal jika pengelolaannya dilakukan secara terdesentralisasi dan otonom di daerah yang bersangkutan. Bahkan seharusnya otonomi itu juga dimiliki oleh masyarakat dan para pelaku ekonomi untuk lebih mengoptimalkan potensi dan karakter masing-masing. Desentralisasi dan otonomi ekonomi bukan sesuatu yang sempit terbatas hanya pada desentralisasi pemerintah dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (sehingga menimbulkan "sentralisasi" baru di daerah), tetapi harus menjadi suatu proses untuk lebih meningkatkan otonomi masyarakat secara luas.